AKHIR Oktober lalu, kaum terpelajar asal Poso dan
Morowali yang berdiam di Sulawesi Tengah dan Jawa, khususnya yang menjadi
anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), dikejutkan oleh surat pimpinan
gereja mereka ke Komisi I DPR-RI. Melalui surat bernomor MS GKST No. 79/X/2003,
tertanggal 28 Oktober 2003, Pjs. MS  GKST, pimpinan gereja terbesar di
Sulawesi Tengah itu mengusulkan penetapan  darurat sipil di wilayah
Kabupaten Poso dan Kabupaten Morowali. Surat itu ditandatangani oleh Ketua I
Majelis Sinode GKST, Pendeta Arnold R. Tobondo dan  Sekretaris I Majelis
Sinode, Lies Sigilipu-Saino.
Hasil evaluasi akhir tahun yang dilakukan Yayasan
Tanah Merdeka (YTM) sebuah LSM ternama di Sulwesi Tengah mengungkapkan jumlah
korban tewas dan cedera akibat rentetan aksi kekerasan di daerah bekas konflik
Poso sepanjang tahun 2005 meningkat tajam dibanding dua tahun sebelumnya.
Sumber : Harian sore Mercusuar Palu
Dari sedikitnya 27 kasus tindak kekerasan yang terjadi
sepanjang 2005 yaitu berupa penembakan 10 kasus, pembunuhan 4 kasus dan
pengeboman 12 kasus, mengakibatkan korban meninggal dunia mencapai 31 orang dan
luka-luka sebanyak 108 orang.
Arianto Sangaji, direktur YTM, kepada wartawan, Rabu
(28/12) kemarin, mengatakan korban manusia terbanyak terjadi ketika dua bom
berkekuatan dashyat mengguncang Tentena (kota kecil di tepian Danau Poso) pada
28 Mei 2005 yang mengakibatkan 23 orang tewas dan 97 lainnya cedera.
Disusul pembunuhan dengan cara mutilasi di kota Poso 29 Oktober lalu yang menewaskan tiga siswi SMA setempat dan mencederai seorang lainnya.
Disusul pembunuhan dengan cara mutilasi di kota Poso 29 Oktober lalu yang menewaskan tiga siswi SMA setempat dan mencederai seorang lainnya.
Ia menjelaskan, jumlah kasus tindakan kekerasan di wilayah
Poso tahun 2005 itu beserta akibat yang ditimbulkannya jauh meningkat dibanding
keadaan dua tahun sebelumnya.
Pada tahun 2003 misalnya, total tindakan kekerasan yang terjadi di sana hanya 23 kasus dengan mengakibatkan 11 orang tewas dan 16 luka-luka, serta tahun 2004 sebanyak 22 kasus dengan 16 orang meninggal dunia dan 20 cedera.
Pada tahun 2003 misalnya, total tindakan kekerasan yang terjadi di sana hanya 23 kasus dengan mengakibatkan 11 orang tewas dan 16 luka-luka, serta tahun 2004 sebanyak 22 kasus dengan 16 orang meninggal dunia dan 20 cedera.
AKAR PERMASALAHAN: 
(a). Faktor-faktor lokal:
a.1. Marjinalisasi terbalik:
Proses marjinalisasi terbalik antara penduduk kota
Poso dan penduduk  pedalaman Kabupaten Poso, yang memperlebar jurang
sosial antara penduduk asli dan  pendatang. Maksud saya, di pedalaman Poso
tiga suku penduduk asli yang mayoritas  beragama Kristen – yakni Lore,
Pamona, dan Mori – mengalami marjinalisasi di bidang  ekonomi, politik,
dan budaya, sehingga dibandingkan dengan para pendatang, mereka ini merasa
tidak lagi menjadi tuan di tanahnya sendiri. Tapi sebaliknya, di kota Poso – di
lokasi di mana kerusuhan meletus dan perusakan paling parah terjadi – adalah
para  turunan pendatang dari Gorontalolah yang paling mengalami
marjinalisasi dibandingkan dengan penduduk asli yang bermukim di kota Poso,
sebelum kerusuhan 
1998-2000.
a.1.1. Marjinalisasi penduduk asli beragama Kristen di
pedalaman Kabupaten Poso: 
Mari saya jelaskan dulu proses marjinalisasi yang
dialami oleh ketiga suku  penduduk asli yang beragama Kristen di pedalaman
Kabupaten Poso. Pertama-tama,  marjinalisasi ekonomi mereka alami,
sebagian juga karena strategi penginjilan oleh para  misionaris Belanda,
yang kemudian diteruskan oleh GKST, yang tidak menumbuhkankelas menengah yang
mampu berwiraswasta dan bersaing dengan para pendatang. Strategi pendidikan
Zending dan kemudian GKST lebih mengfasilitasi transformasi  profesi dari
petani ke pegawai (ambtenaar), baik pegawai pemerintah maupun pegawai gereja.
Ini sangat berbeda dengan strategi penginjilan di Tana Toraja dan Minahasa, di
mana sudah muncul banyak pengusaha tangguh berkaliber nasional.
a.1.2. Marjinalisasi dan radikalisasi migran Muslim di
kota Poso:
Sebelum menggambarkan proses marjinalisasi dan
sekaligus radikalisasi masyarakat migran Muslim di kota Poso, kita perlu lebih
dulu mengenal keragaman  etnik penduduk kota Poso, serta pelapisan sosial
yang ada sebelum kerusuhan 1998. 
Keragaman etnik penduduk kota Poso, merupakan suatu keadaan
yang sejak awal  ditolerir oleh Raja Talasa Tua (Nduwa Talasa ), penguasa
adat terakhir kota Poso. Kata  sang raja dalam maklumatnya yang dibacakan
di kantor raja Poso di kota Poso, tanggal 
11 Mei 1947, jam 10 pagi: 
Laut/Teluk Tomini tidak ada pagarnya 
Laut/Teluk Tomini tidak ada pagarnya 
Hai kamu orang Arab 
Hai kamu orang Tionghoa 
Hai kamu orang Jawa 
Hai kamu orang Manado 
Hai kamu orang Gorontalo 
Hai kamu orang Parigi 
Hai kamu orang Kaili 
Hai kamu orang Tojo 
Hai kamu orang Ampana 
Hai kamu orang Bungku 
Hai kamu orang Bugis – orang Wotu 
Hai kamu orang Makassar 
Jika kamu tidak menaati perintahku kamu boleh pulang
baik-baik ke kampung 
halamanmu karena Tana Poso tidak boleh dikotori dengan
darah 
(Damanik 2003: 41). 
Sementara itu, dari sudut sosial-ekonomi, masyarakat
kota Poso dapat dibagi
dalam tiga kelas, yakni (a) kelas bawah lama; (b)
kelas menengah lama; (c) kelas ataslama. Kelas bawah lama terutama terdiri dari
keturunan para migran Gorontalo yang 
mayoritasnya bermukim di Kelurahan-Kelurahan Lawanga,
Bonesompe, dan Kayamanya. Profesi mereka kebanyakan adalah nelayan dan buruh
pelabuhan, yang  mengalami marjinalisasi karena pergantian kekuasaan
politik nasional tahun 1965-1966  dan agak lama kemudian, pembangunan
Jalan Trans-Sulawesi. 
Kelas menengah lama  terutama terdiri dari
komunitas-komunitas asli Poso, Mori, dan Minahasa, yang 
kebanyakan terdiri dari para birokrat yang masih tetap
juga berkebun di tanah-tanah mereka di seputar pemukiman mereka. Sedangkan
kelas atas lama terdiri dari kaum  usahawan berdarah Arab dan Tionghoa.
APA YANG HARUS DILAKUKAN? 
(a). Menolak penetapan status darurat sipil bagi
daerah Poso dan Morowali. 
(b). Secara konsepsional, mulai membedakan militer
(TNI) dan polisi, baik institusinya maupun tugas dan cara operasionalnya,
sehingga masyarakat luas tidak lagi selalu menganggap kedua kekuatan bersenjata
itu mempunyai fungsi yang sama. Dalam  sebuah negara yang demokratis dan
menganut supremasi sipil, polisi adalah bagian dari  pemerintah sipil, berada
di bawah komando kepala-kepala daerah, dan tugasnya adalah  menegakkan
keamanan dalam negeri (internal security ). Sedangkan militer berada di 
bawah komando Presiden sebagai Kepala Negara, dan
hanya bertugas mempertahankan negara dari serbuah musuh, tanpa diembel-embeli
fungsi-fungsi  politik dan ekonomi, seperti yang sekarang masih kita lihat
di negara kita.
(c). Menarik pasukan-pasukan TNI/Angkatan Darat dan
Brimob dari daerah Sulawesi  Tengah bagian Timur, baik pasukan yang
beroperasi secara terbuka, maupun pasukan- pasukan yang beroperasi secara
terselubung.
(d). Memprioritaskan pemanfaatan tenaga Polisi untuk
pengamanan di daerah  kerusuhan, dengan meningkatkan profesionalisme
mereka dalam menghadapi gejolak,  unjuk rasa, dan bentuk-bentuk kerusuhan
sosial lainnya dengan teknik pengendalian huru hara tanpa membunuh.
(e). Menggalakkan pendekatan antara calon penanam
modal dengan rakyat setempat dengan menghormati hak-hak rakyat – baik penduduk
asli, petani pendatang  (transmigran), penduduk di kawasan pemukiman
setempat, maupun buruh -- , tanpa  pendekatan keamanan, yakni
menakut-nakuti rakyat dengan intervensi militer berupa latihan perang-perangan,
unjuk kekuatan fisik (show of force ) yang selama ini dilakukan  di
Sulawesi Tengah bagian Timur, khususnya di Kabupaten Banggai. 
Berikut foto-foto korban kerusuhan poso


Tidak ada komentar:
Posting Komentar